Halaman

Rabu, 06 Januari 2010

Henri Nurcahyo : TARIAN GELISAH KRIS AW

Kris AW sedang gelisah. Ini terbaca dari karya-karya terakhirnya yang banyak merekam denyut nadi sosial politik di sekitarnya. Namun ia tidak marah. Tidak protes. Juga tidak melawan secara verbal. Sapuan-sapuan kuasnya, pilihan warnanya, serta alunan gerak obyeknya, menunjukkan semangat membuncah untuk mengekspresikan sesuatu dari dalam dirinya.
Lelaki kurus itu, tanpa baju, berambut panjang, sedang memainkan gerak-gerak tangannya secara amat ekspresif. Ia meliuk-liukkan tubuhnya seakan mencoba bertahan dari serbuan angin yang tak jelas maunya. Matahari sedang membara. Lelaki itu sedang menari. Ia seperti hendak menunjukkan apa yang tengah terjadi dalam jiwanya. Ia ingin berkata-kata, ingin menyampaikan sesuatu, tentang segala nestapa yang terus menerus menimpa bumi ini. Bencana demi bencana seakan tak pernah berhenti menyapa.



Ada Tsunami di Aceh, gempa di Yogyakarta, ada bencana dimana-mana. Banyak ibu yang kehilangan anaknya, ditelan ombak yang membuncah. Banyak anak yang kehilangan ibunya. Betapa kasih sayang ibu dan anak bagaikan dua sisi mata uang yang sama, seperti jantung dan paru-paru, seperti sepasang ginjal, atau seperti urat dan darah. Sedemikian menyatunya ibu dan anak, keduanya pun tetap berdekapan ketika tewas diterjang gelombang Tsunami. Ada juga remaja yang sesenggukan di tengah malam yang galau. Ada remaja memandang bulan yang terlihat bagaikan gumpa lan darah. Sementara di bagian lain di negeri ini, ada yang ribut-ribut justru soal bokong. Duh Gusti, negeri seperti apakah negeriku ini?
Lelaki itu menari. Ia terus menarikan gejolak jiwanya. Dia percaya, bahwa tarian adalah gerak ritmis dinamis yang hakikatnya merupakan ungkapan ekspresi jiwa. Lewat tari dapat diungkapkan kebahagiaan, keserakahan atau mungkin renungan hidup sampai dengan ekspresi persembahan kepada Tuhan yang Maha Perkasa. Ia menari untuk menunjukkan ada yang selalu bertentangan dalam satu kebersamaan, bagaikan hitam yang menjadi bermakna ketika bersanding putih. Bagaikan putih yang menjadi semakin kentara ketika bersanding hitam. Hitam dan putih, adalah sebuah keseimbangan dalam hidup ini. Dua hal yang saling bertentangan, namun sesungguhnya saling menegaskan.
Kris memang seorang pelukis, meski dunia seni rupa dia geluti tidak sesempit batas kanvas. Dia seorang organisator, seorang aktivis kesenian, meski juga bukan sesempit seni rupa. Bahkan, aktivitas keseniannya malah bermula dari musik, ketika bermain dalam konser rakyat Kentrung Rock sebelum tahun 1980-an dulu. Tapi Kris juga menulis puisi. Itulah sebabnya naluri sastranya seakan tak kuasa ia bendung ketika berhadapan dengan kanvas, dan ia merasa perlu harus menuliskan sesuatu di lukisannya. Jadilah puisi dalam lukisan.
Menyimak karya-karya terakhirnya ini, memang terlihat jelas kegelisahan itu. Barangkali ini ada hubungannya dengan situasi sosial politik yang terus menerus menggejolak di era transisi ini. Sebuah era ketika orang dengan mudah dan cepat menjadi politikus, menjadi elit partai, bahkan menjadi penguasa daerah. Dan juga, dengan mudah dan cepat orang menjadi kaya. Dalam situasi seperti itulah maka sangat rawan terjadi penyimpangan moral, ada dekadensi, ada nurani yang tercabik-cabik, bahkan sedemikian mudah orang melecehkan etika, bahkan juga hukum. Hipokrisi berkembang dengan suburnya.
Apa yang sedang nampak di mata, seakan-akan sulit dipercaya sebagai sebuah realitas sejati. Ada realitas lain yang harus dicermati. Realitas di balik tangan, realitas di balik punggung, realitas yang bermakna ganda. Dalam dunia serba ambivalen itulah seorang Kris kini sedang berada. Hatinya berkecamuk dengan pertentangan-pertentangan antara hitam dan putih. Gejolak jiwanya membutuhkan katarsis. Kris, bukan lagi harus dipahami semata-mata sebagai seorang Guru Gambar di sebuah SMA. Kris adalah lelaki yang mewakili jamannya. Jaman yang makin edan sekarang ini.
Bandingkan dengan karya-karya sebelumnya. Karya yang lembut, yang ngelangut, dengan warna-warna yang gradatif. Tema-tema yang dipilihnya pun cenderung surealistis. Anak-anak kecil mengendarai kelompen menuju langit, anak-anak kecil yang bermain akrab, layang-layang, berkejar-kejaran atau bermain ular naga di sela-sela awan. Atau juga betapa imajinatifnya Kris menggambarkan anak-anak mengendarai capung raksasa, bermain di alam terbuka, atau juga betapa mengasyikkan mereka memainkan pelangi menjadi sebuah ayunan. Betapa langit dan udara terbuka, seakan-akan memang menjadi milik anak-anak. Sebuah penggambaran yang satiris, ketika dalam realita anak-anak memang tak lagi menemukan tempat bermain di kampung mereka.

Tetapi yang terjadi kemudian, ada semacam gejolak yang tak tertahankan untuk segera disuarakan di jaman yang cepat berubah sekarang ini. Kris mempelopori gambar dinding (mural) di sekolah tempatnya mengajar. Dia juga terlibat dalam revitalisasi kesenian rakyat yang nyaris punah. Semuanya itu dia lakukan ketika dalam dua tiga tahun belakangan ini dia memang sempat kurang aktif terlibat pameran lukisan. Tapi sekarang, Kris mencoba bangkit menyuarakan gejolak jiwanya. Dia tak bisa berdiam diri terus menerus melihat segala macam tingkah anak manusia yang terjadi di sekitarnya. Orang-orang yang dulu teman sepermainannya, mereka yang dulu suka cangkruk minum kopi bersamanya, kini menjadi pemain “akrobat” yang jumpalitan tak tentu arah. Kris AW gelisah. Kegelisahan itulah yang dia tumpahkan ke atas kanvasnya sekarang ini.
Meski demikian. Tidak ada rasa benci sedikitpun terhadap negeri yang compang camping ini. Kris tetap menjadi anak negeri yang baik, yang tetap mencintai negerinya meski sudah terkoyak-koyak. Ia tetap menari, setidaknya kali ini memilih tarian dalam lukisan, sebagai simbolisasi permasalahan sekitar, makro dan mikro, yang abstrak maupun yang realis, masalah sosial maupun yang religius, bahkan mungkin (katanya) sebagai isyarat masa depan.
Begitulah, langkah sudah diayunkan. Pilihan sudah ditetapkan. Kris AW kini sedang menempuh perjalanan di jalan yang ia rintis sendiri. Sebuah jalan yang tidak pernah sepi, justru ketika Kris merasa sendiri. Sebuah jalan yang terasa sunyi, ketika Kris menganggap banyak masalah yang bergemuruh.
 Henri Nurcahyo, penulis Kesenian tinggal di Sidoarjo. Lahir di Lamongan, 22 Januari 1959. Pernah mendirikan dan aktif di sejumlah LSM dan sekian banyak kepanitiaan kegiatan kesenian lainnya. Tahun 2001 memperoleh Penghargaan Seniman Jatim dari Gubernur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda Mencari Apa ?